JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Lembaga Kajian Next Policy menyoroti kebijakan transportasi nasional yang hingga kini seringkali inkonsisten dan cenderung salah arah. Ketika di satu sisi pemerintah begitu gigih menghapus subsidi untuk KRL, di waktu yang sama pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik secara signifikan.
“Kebijakan ini secara jelas salah arah karena akan semakin menguatkan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi masyarakat, akan lebih banyak dinikmati kelas menengah atas, serta merupakan solusi semu untuk transisi energi karena sebagian besar pembangkit listrik masih bergantung pada pembangkit batu bara,” kata Yusuf Wibisono, Direktur Next Policy, dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (27/09/2024).
Yusuf menambahkan, untuk subsidi motor dan mobil listrik bagi sebagian kecil masyarakat kelas menengah atas, pemerintah dengan ringan mengalokasikan anggaran hingga Rp 3,0 triliun dan Rp 9,1 triliun pada 2023 dan 2024.
“Sedangkan subsidi KRL Jabodetabek pada 2023 yang hanya Rp 1,63 triliun untuk jutaan penumpang dari masyarakat kelas bawah dan menengah, pemerintah begitu gigih menurunkannya,” ungkap Yusuf.
Subsidi KRL Jabodetabek seharusnya semakin ditingkatkan dengan diiringi peningkatan kapasitas dan daya angkut KRL, agar semakin banyak masyarakat yang menggunakan KRL, apapun kelas ekonomi mereka. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan KRL, semakin besar keuntungan bagi masyarakat dan perekonomian.
“Andai subsidi kendaraan listrik 2023 dialihkan untuk KRL Jabodetabek, maka PSO PT KAI Commuter Line akan naik tiga kali lipat. Ini artinya Tarif KRL Jabodetabek bisa lebih murah,” tutur Yusuf.
Menurut Yusuf, arah kebijakan pemerintah dalam 10 tahun terakhir semakin tidak jelas, diskriminatif dan tidak berkeadilan ketika transportasi massal perkotaan justru diarahkan ke MRT dan LRT, dan bahkan kereta cepat, dengan meninggalkan KRL.
MRT, LRT dan kereta cepat adalah transportasi publik yang mahal dengan daya angkut terbatas. Subsidi tiket MRT dan LRT Jakarta oleh Pemprov DKI Jakarta mencapai Rp 880 miliar per tahun, padahal penumpang MRT Jakarta hanya di kisaran 90 ribu orang per hari dan LRT Jakarta hanya di kisaran 2 ribu orang per hari.
“Bandingkan dengan penumpang KRL Jabodetabek yang mencapai kisaran 1 juta orang per hari. Subsidi untuk setiap penumpang MRT dan LRT Jakarta masing-masing 4 kali lipat dan 24 kali lipat lebih besar dari subsidi untuk setiap penumpang KRL Jabodetabek,” ujar Yusuf.