JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat kembali memunculkan kekhawatiran atas arah kebijakan iklim global. Pada periode pertamanya, Trump dikenal skeptis terhadap perubahan iklim dan cenderung memprioritaskan sektor ekonomi serta energi fosil, bahkan membawa AS keluar dari Perjanjian Paris.
Di sisi lain, pertengahan November ini, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, menyoroti pentingnya kolaborasi internasional untuk penanggulangan perubahan iklim. Forum ini hadir dengan misi utama untuk mengatasi tantangan iklim global yang semakin mendesak, termasuk memperkenalkan mekanisme pendanaan dan inisiatif baru.
Indonesia hadir di forum ini memiliki tiga agenda prioritas yaitu meningkatkan kontribusi penurunan emisi, mengamankan pendanaan iklim berkelanjutan, dan menjaga ketahanan wilayah yang rentan terhadap dampak iklim.
Ekonom Senior dan Pakar Ekonomi Hijau, Masyita Crystallin menilai bahwa kepemimpinan Trump yang pro-sektor energi fosil berpotensi mengurangi dukungan pendanaan iklim dari AS.
“Trump mungkin mengurangi dukungan pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Padahal, dana tersebut sangat diperlukan untuk mendukung transisi energi bersih dan penanganan dampak iklim di negara-negara rentan,” ujar Masyita pada Kamis (14/11/2024).
Masyita menambahkan, kepemimpinan Trump yang lebih condong pada industri fosil bisa berdampak langsung terhadap keberhasilan inisiatif seperti Climate Finance Action Fund (CFAF).
“Diumumkan pada Juli 2024, CFAF bertujuan menggalang dukungan sukarela dari negara-negara penghasil bahan bakar fosil untuk mendukung aksi iklim negara berkembang,”tutur Masyita.
Dengan agenda COP29 ini, Indonesia tidak hanya berupaya bertahan dari dampak perubahan iklim, tetapi juga memperkuat posisinya dalam diplomasi iklim global.