FAKTA GRUP – Hasil investigasi dr. Aulia Risma yang diduga bunuh diri karena tak tahan menjadi korban bullying menemukan fakta baru, yaitu adanya pemalakan oleh senior sebesar Rp20-40 juta. DPR RI pun mendesak pemerintah untuk segera melakukan reformasi sistem Program Pendidikan Spesialis (PPDS) yang diketahui kental dengan unsur bullying.
“Perundungan di lingkungan pendidikan tidak bisa lagi dianggap sepele. Reformasi sistem pendidikan kedokteran spesialis dan pengawasan yang sangat ketat mutlak dilakukan,” ujar Anggota Komisi IX Arzeti Bilbina, Senin 2 September 2024.
Hasil penyelidikan sementara dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diketahui, almarhumah dr. Aulia kerap dipalak oleh seniornya sebanyak Rp20-40 juta. Pemalakan tersebut terjadi sejak semester pertama dari Juli-November 2022.
Menurut investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), uang yang dipalak para senior ke dr. Aulia dan para juniornya dengan nominal hingga Rp40 juta ternyata digunakan untuk menyewa jasa penulis lepas untuk membuat naskah akademik dan menggaji para OB. Arzeti mengatakan, masalah ini sudah masuk ranah pidana.
“Kasus ini harus perhatian khusus karena ini bentuk pemerasan, sudah kriminal dan sangat meresahkan. Harus ada pertanggunjawaban secara pidana. Ini sangat mengkhawatirkan karena perundungan bukan lagi soal fisik dan mental, tapi pemerasan juga,” tuturnya.
Menurut Arzeti, kasus dr. Aulia menjadi tamparan keras bagi sistem pendidikan residensi dokter spesialis. Apalagi perundungan tersebut terjadi di lingkungan profesi yang sangat dihargai oleh banyak masyarakat yaitu dokter.
“Kasus ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk berbenah. Perundungan di lingkungan pendidikan, apalagi di bidang kedokteran, sangat merusak proses pembentukan karakter dan kualitas profesional calon dokter yang akan melayani masyarakat,” jelas Arzeti.
Permintaan uang di luar biaya pendidikan yang sudah ditetapkan dinilai merupakan pelanggaran etika yang serius. Hal ini, kata Arzeti, menunjukan adanya praktik yang tidak sehat dan merugikan banyak peserta didik spesialisasi dokter.
“Permintaan uang yang tidak wajar menunjukkan adanya ketidakadilan dalam akses pendidikan. Tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan finansial yang sama, sehingga praktik seperti ini dapat menghambat mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi,” ungkapnya.
Arzeti pun menekankan kepada Pemerintah, khususnya Kementerian/Lembaga yang memiliki sekolah atau layanan pendidikan khusus untuk menciptakan sistem pendidikan yang aman, sehat dan berkualitas.
Menurutnya hal tersebut dilakukan untuk mencetak lulusan yang berkulitas, di mana untuk bidang kesehatan sendiri diharapkan memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat.
“Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi para mahasiswa dan residen untuk berkembang, bukan menjadi sarang perundungan dan intimidasi yang merusak
mental mereka,” tegas Arzeti.
Lebih lanjut, legislator dari Dapil Jawa Timur I ini mendorong Pemerintah melakukan evaluasi sistem pendidikan spesialis kedokteran di Indonesia, melihat sudah terbukti banyaknya kasus perundungan di jalur PPDS. Arzeti menilai, pengawasan dan perlindungan terhadap mahasiswa dan residen ini harus diutamakan.
“Evaluasi harus mencakup perbaikan dalam tata kelola pendidikan kedokteran spesialis, pembentukan mekanisme pengaduan yang aman dan efektif, serta penegakan aturan yang tegas terhadap tindakan perundungan,” paparnya.
“Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan berkualitas. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa para lulusan kita siap untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat Indonesia,” sambung Arzeti.
Program pendidikan kedokteran spesialis pun disebut harus melingkupi juga tentang kesehatan mental bagi semua pihak yang terlibat, termasuk untuk senior maupun pengajar. Artinya, disampaikan Arzeti, pendidikan tidak hanya fokus pada kemampuan akademis semata.