Pemahaman gampangnya begini: Tanah air kita suburnya minta ampun, kata Koes Plus: … tongkat, kayu dan batu jadi tanaman. Tanam apa saja tumbuh, beternak apa saja pasti jadi.
Maka logika sederhananya: swasembada pangan secara nasional semestinya bukan hal yang susah! Soal detail teknis biarlah ahli pertanian (dan kehutanan) yang menjabarkannya.
Selain subur, alam kita kaya raya dengan sumber-sumber mineral dan pertambangan. Batubara, minyak dan gas, nikel, tembaga, bauksit dan lain-lain. Tanya saja sama teman-teman kita yang kerja di perusahaan minyak (Pertamina), perusahaan pertambangan (termasuk Freeport) misalnya.
Maka kalau Presiden Prabowo bertekad untuk swasembada energi semestinya bukan hal yang istimewa. Sudah seharusnya sejak dulu, …ya sejak dulu urusan ini semestinya beres.
Belum lagi kita bicara soal energi terbarukan, matahari bersinar sepanjang tahun, air (hydropower) dan juga panas bumi ada sepanjang jalur gunung berapi (ring of fire), ada pula teknologi nuklir yang sudah sejak Bung Karno berkuasa dirintis eksistensinya.
Plus sumber daya manusia Indonesia banyak yang pintar-pintar. Jangan bilang kita tidak mampu mengelola dari sisi teknologi dan keamanan (safety)nya.
Dua hal, swasembada pangan dan swasembada energi, ya dua hal yang dengan mantap disebut Presiden Prabowo dalam pidato pelantikannya 20 Oktober kemarin.
Tapi manakala segala sumber daya itu dikonversi menjadi kekayaan ekonomi seketika itu juga adagium “ada gula ada semut” berlaku. Yang dimaksud semut ini macam-macam, ada semut yang baik, tapi ada juga semut yang jahat.
Yang baik adalah semut-semut yang memikirkan “untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat banyak”. Semut yang jahat tidak berpikir begitu, mereka adalah para koruptor dan mafia di bidang pangan dan energi itu, mereka berpikir “untuk segendut-gendutnya pundi-pundi” sendiri.
Kita ambil contoh di bidang energi minyak bumi misalnya. Mafia (dan koruptor) yang mengerubungi Pertamina dan perusahan derivatifnya masih kuat mencengkeram.
Tentakel-tentakel mereka menjulur ke samping, ke atas dan ke bawah, baik secara langsung maupun melalui proxy mereka, termasuk proxy malalui partai politik dan aparat keamanan serta hukum.
Mafia itu tidak ambil pusing dengan “kepentingan negara (bangsa)”, “kesejahteraan rakyat” dan berbagai jargon nasionalis sejenisnya. Mereka hanya melihat ada peluang memperkaya diri (dan kompradornya) maka… sikat saja! Kalau pun ada yang sampai berani menghalangi… sikat, pidanakan, kalau perlu bunuh. Ya, sekasar dan sekejam itu.