JAKARTA, FAKTANASIONAL – DPR RI memberikan keterangan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara 135/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada terhadap UUD 1945. Sidang ini membahas permohonan judicial review yang diajukan oleh Yayasan Perludem, diwakili oleh Nur Agustyati dan Irmalidarti dengan kuasa hukum Fadli Ramadhanil.
Dalam permohonannya, Perludem mengusulkan pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dengan jeda waktu dua tahun. Mereka berargumen bahwa pelaksanaan Pemilu serentak dengan lima kotak suara, yang sudah dilakukan pada 2019 dan 2024, menimbulkan berbagai masalah.
Menurut Pemohon, keserentakan pemilu melemahkan pelembagaan partai politik, menghambat kaderisasi, dan menurunkan kualitas demokrasi. Selain itu, mereka menyebut keserentakan ini bertentangan dengan asas-asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Perludem menilai jeda waktu dua tahun akan memberi kesempatan bagi partai politik untuk fokus pada rekrutmen dan kaderisasi yang lebih baik, serta mengurangi dominasi kandidat populer atau yang memiliki dukungan finansial besar.
Dalam sidang tersebut, DPR RI, melalui kuasa hukumnya Rudianto Lallo, menyatakan bahwa usulan pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah membutuhkan kajian mendalam. Ia menegaskan bahwa DPR bersama pemerintah akan menyerap ide-ide baru untuk merumuskan undang-undang pemilu yang lebih baik dan aspiratif.
“Usulan ini bisa menjadi masukan penting bagi kami dalam merumuskan UU Pemilu ke depan agar tidak terus berubah setiap lima tahun,” ujar Rudianto dalam keterangannya, Selasa (10/12/2024).