JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Pemerintah secara resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5 persen. Kebijakan ini menjadi penetapan pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan membawa harapan baru di tengah ketidakpastian perekonomian global serta tekanan berat pada industri dalam negeri.
Direktur Lembaga Kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menyatakan bahwa penetapan kenaikan UMP 2025 ini menandai perubahan arah kebijakan yang berbeda dibandingkan era sebelumnya.
“Jika melihat tren, sejak terbitnya UU Cipta Kerja, pertumbuhan UMP mengalami kejatuhan tajam. Pada 2021, pertumbuhannya hanya 0,57 persen, bahkan di 2022 hanya 1,41 persen, jauh di bawah inflasi yang mencapai 5,51 persen,” ujar Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/12/2024).
Ia menambahkan bahwa dalam konteks ini, kenaikan 6,5 persen pada 2025 patut diapresiasi meski masih jauh dari pertumbuhan UMP yang progresif seperti pada periode 2013–2016, di mana kenaikan rata-rata mencapai 16 persen.
Data menunjukkan bahwa rerata pertumbuhan UMP antara 2014 hingga 2016 mencapai 14,9 persen per tahun. Namun, sejak 2017, di era Presiden Jokowi, pertumbuhan UMP melemah menjadi sekitar 8,0 persen per tahun. Setelah penerapan UU Cipta Kerja, kenaikan UMP bahkan anjlok, hanya 0,57 persen pada 2021 dan 1,41 persen pada 2022.
Harapan sempat muncul pada 2023 ketika UMP naik 7,26 persen setelah tidak lagi berpedoman pada PP No. 36/2021. Namun, dengan terbitnya Perppu No. 2/2022 yang kemudian menjadi UU No. 6/2023, pertumbuhan UMP kembali tertekan, hanya 3,60 persen pada 2024.
Namun, Yusuf mengingatkan bahwa kebijakan kenaikan UMP ini berpotensi tergerus oleh rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan, serta berbagai pungutan wajib lainnya seperti potongan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan rencana kenaikan tarif layanan umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL).
“Jika rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen serta kenaikan tarif layanan publik seperti KRL dan potongan wajib seperti Tapera tidak dibatalkan, daya beli buruh tetap akan tertekan. Ini berpotensi menambah beban hidup di tengah kondisi ekonomi yang sudah sulit,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan, Jika inflasi melonjak ke kisaran 4 persen akibat kenaikan biaya hidup dan potensi kenaikan harga energi serta pangan global, maka efek positif dari kenaikan UMP ini bisa berkurang secara signifikan.