FAKTA NASIONAL – Seorang warga asal Semarang Utara, berinisial A (36) menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Negara Myanmar. Ibu Korban Ing (60) menjelaskan, sang anak dipaksa bekerja sebagai scammer atau penipu di platform online.
Ia sempat melarang anaknya untuk tergiur dengan pekerjaan diluar negeri tanpa ada kejelasan pasti. Apalagi ada syarat membayar terlebih dahulu sebesar Rp16 juta.
“Anak saya diiming-imingi kerja di Selandia Baru sebagai admin perusahaan dijanjikan upah Rp, 12-20 juta perbulan. Tidak tahunya malah berangkat ke Myanmar setahun lalu persisnya pada 29 Mei 2023,” ujar Ing, ditemui di Sekretaris AJI Semarang, Rabu 26 Juni 2024.
Selain dipaksa bekerja sebagai scammer, korban juga mengalami penyiksaan dan pemerasan. Keluarga korban bahkan sempat dituntut membayar Rp150 juta jika ingin pulang.
“Saya nasehati anaknya, tapi tetap kukuh dengan alasan ingin mencari pengalaman kerja keluar negeri. Saya tau diri anaknya itu lulusan SMA tidak punya pengalaman kerja atau keahlian tertentu,” ujarnya.
Ing mengungkapkan, banyak penyiksaan yang dialami anaknya mulai dicambuk, disetrum, dipukuli, hingga disuruh berlari dengan membawa galon. Penyiksaan tersebut diperoleh anaknya ketika tidak mencapai target dari pekerjaan sebagai scammer.
“Akibat penyiksaan itu mata kanan anak saya sampai mengalami gangguan. Saya minta tolong kepada pemerintah khususnya Presiden untuk membantu memulangkannya,” ucapnya.
Korban TPPO berinisial A dari Semarang bukanlah korban tunggal. Ia bersama delapan korban lainnya saat ini sedang dalam pendampingan Jaringan Solidaritas Korban Kerja Paksa dan Perbudakan Modern Asia Tenggara.
“Kami sudah melaporkan ke berbagai instansi baik ke Mabes Polri maupun ke Kementerian Luar Negeri, Komnas HAM, dan lembaga lainnya. Namun, sampai sekarang tidak ada respon,” kata Asisten Pengacara Publik LBH Semarang, Tuti Wijaya.
Tuti bertugas mendampingi keluarga korban A yang berada di Kota Semarang. Pihaknya mendesak kepada pemerintah untuk segera memulangkan A sebab korban sudah mengalami beragam penyiksaan hingga mentalnya drop (turun).
“Mata korban alami gangguan karena disuruh bekerja sebagai scammer di depan laptop selama 18 jam nonstop. Artinya, korban secara fisik dan mental kena,” ujarnya.***