JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Dalam upaya menegaskan kewenangan pemerintah daerah dalam penetapan tanah ulayat berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, menggelar Rapat Koordinasi Pengembangan Sistem Data dan Informasi Tanah Adat yang dilaksanakan secara hybrid (melalui tatap muka dan aplikasi zoom meeting).
Plh. Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Amran, menyampaikan bahwa saat ini Kementerian Dalam Negeri berkolaborasi dengan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka percepatan sertifikasi tanah ulayat milik masyarakat hukum adat (MHA).
Hal tersebut dilakukan agar tanah ulayat tidak hilang dan terhindar dari sengketa atau konflik pada masa mendatang.
“Dengan adanya pertukaran informasi dan pengalaman penanganan masalah tanah ulayat oleh para peserta rapat, diharapkan permasalahan atau hambatan dalam pendaftaran tanah ulayat dapat diselesaikan secara kolaboratif,” kata Amran dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (13/09/2024).
Sedangan Nurbowo Edy Subagio, Analis Kebijakan Ahli Madya pada Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan mengungkapkan bahwa perlu adanya sinkronisasi peraturan terkait dengan penetapan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat, sehingga tidak terjadi pertentangan antara peraturan satu dan lainnya
Nurbowo juga menambahkan bahwa perlu adanya upaya agar sertifikat tanah ulayat hanya dalam bentuk kepemilikan secara komunal dan tidak dimiliki secara perorangan agar tanah ulayat tersebut tidak hilang diperjualbelikan ke depannya.
Sementara itu, Setyo Anggraini, Kasubdit Tanah Ulayat dan Hak Komunal Kementerian ATR/BPN menyampaikan manfaat yang diperoleh MHA dari pendaftaran tanah ulayat adalah bentuk pengakuan konkrit dari pemerintah atas keberadaan MHA.
Selain itu, memperkuat posisi MHA apabila terjadi permasalahan di kemudian hari, mencegah hilangnya tanah ulayat (privat), dan melindungi dan mencegah terjadinya sengketa, konflik, maupun perkara (karena Hak Pengelolaan (HPL) tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.