JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Dalam dinamika politik Indonesia, keinginan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik sering kali mendorong penambahan jumlah kementerian dalam kabinet pemerintahan.
Meskipun langkah ini mungkin dimaksudkan untuk memperkuat koalisi dan menjaga stabilitas politik, dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kelembagaan negara dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak dapat diabaikan.
Pengesahan Undang-Undang (UU) Kementerian Negara dan UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 19 September 2024 memperjelas arah pemerintahan baru, di mana presiden terpilih memiliki keleluasaan membentuk kementerian tanpa batasan jumlah.
Kebijakan ini mengundang kekhawatiran bahwa jumlah kementerian akan membengkak untuk mengakomodasi kepentingan partai politik pendukung, bukan berdasarkan kebutuhan efektif pemerintahan.
Penambahan kementerian tanpa pertimbangan matang dapat menyebabkan tumpang tindih fungsi, di mana beberapa kementerian berpotensi saling mengganggu dalam melaksanakan tugasnya.
Selain itu, kementerian yang dibentuk untuk kepentingan politik rentan menjadi “sapi perah” partai, mengaburkan tujuan utama untuk melayani masyarakat. Dampak lainnya adalah meningkatnya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN), yang tidak hanya membebani APBN dengan biaya operasional tinggi, tetapi juga membuka peluang munculnya birokrat yang lebih loyal pada partai politik daripada kepentingan negara.
Selain itu, dengan bertambahnya kementerian, akan ada lebih banyak pengeluaran untuk fasilitas seperti rumah dinas, kantor, dan tunjangan bagi para pejabat baru, yang pada akhirnya memperbesar belanja negara tanpa diiringi peningkatan efisiensi.
Berikut dampak dari ambisi akomodasi partai politik masuk dalam kabinet:
Merusak Kelembagaan Negara.
Pertama, Tumpang Tindih Fungsi dan Tugas. Penambahan kementerian tanpa pertimbangan matang berpotensi menciptakan tumpang tindih fungsi dan tugas antar lembaga.
Hal ini dapat mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan, efisiensi yang rendah, dan konflik antar kementerian yang menghambat pelayanan publik.
Kedua, Kementerian sebagai “Sapi Perah” Partai. Ketika kementerian dibentuk sebagai bentuk akomodasi politik, ada risiko bahwa kementerian tersebut menjadi alat bagi partai politik untuk mengakses sumber daya negara.
Ini membuka peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang, di mana program dan anggaran kementerian digunakan untuk kepentingan partai, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Ketiga, Munculnya Birokrat Pro-Partai. Penempatan individu yang loyal kepada partai dalam posisi birokrasi strategis dapat mengganggu netralitas aparatur sipil negara.