Wacana Denda Damai untuk Koruptor Perlu Penjelasan dan Penegasan Melalui UU

Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan/dnl.

JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, menyoroti pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi yang menyebut koruptor bisa diampuni lewat denda damai. Menurutnya, wacana tersebut harus dibarengi dengan peraturan yang jelas agar tidak menyalahi ketentuan.

“Wacana yang disampaikan oleh Menkum tidak salah karena memang normanya membuka ruang untuk penafsiran. Namun perlu diperjelas dan pertegas undang-undang dengan merevisinya,” kata Ahmad Irawan, Jumat (27/12/2024).

Sebelumnya, Menkum Supratman Andi Agtas menyebutkan bahwa selain dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.

Denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.

Irawan sepakat bahwa Jaksa Agung memiliki wewenang penggunaan denda damai (schikking), meski begitu hanya untuk kasus tertentu sesuai Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

“Dalam pasal tersebut disebutkan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.

Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa denda damai setidaknya merupakan upaya penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui Jaksa Agung. Bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung itu pun hanya dalam tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan, atau tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan undang-undang.

Adapun denda damai ini masuk dalam kategori keadilan restoratif (restorative justice) atau untuk bidang ekonomi dikenal dengan istilah fiscal recovery yang merupakan upaya untuk memulihkan kerugian perekonomian negara.

“Denda damai (schikking) jelas dan terang tercantum sebagai wewenang Jaksa Agung. Tapi ada postulat dalam membaca teks undang-undang yang bunyinya primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis,” ungkap Irawan.