FAKTA NASIONAL – Sidang kasus korupsi Waterfront Sambas telah memasuki tahap pemeriksaan saksi dari terdakwa MS, ES, JD dan HS.
Sekedar informasi, ES adalah PPK Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Provinsi Kalbar, JD adalah konsultan pengawas dan HS merupakan Direktur perusahaan.
Meskipun telah menjalani berapakali persidangan, namun terdakwa Suhaidi, pelaksana proyek hanya sekali mengikuti sidang secara online, dan itupan diwakili oleh kuasa hukum terdakwa. Sementara, sisanya selalu mangkir dengan beralasan sedang sakit.
Anehnya, ketidakhadiran Suhaidi pun tidak membatalkan proses persidangan keempat terdakwa lainnya di Pengadilan Negeri Tipikor Pontianak.
Menanggapi hal ini, pengamat hukum dan kebijakan publik Herman Hofi Munawar menyesalkan bahwa proses hukum kasus korupsi Waterfront Sambas terkesan tidak terbuka, dan ada yang ditutup-tutupi.
Dikatakannya, proses hukum ini memerlukan transparansi karena ini persoalan publik, maka ketika ada terdakwa tidak ditahan, mestinya disampaikan juga ke publik mengapa terjadi seperti demikian.
“Apakah betul yang bersangkutan sakit? Kalau memang sakit harus jelas, sakit seperti apa. Harus jelas juga, seperti ada surat-surat dari dokter yang menunjukan bahwa yang bersangkutan memang benar-benar tidak bisa menghadiri persidangan,” ujar dia, Minggu 30 Juni 2024.
Ini sangat tidak adil ketika empat terdakwa tersebut disidangkan dan ditahan. Sementara, kata Herman, satu orangnya lagi dibiarkan saja berada di rumah, tanpa ada penjelasan yang kongkret.
Sehingga, wajar apabila publik mempertanyakan mengapa bisa terjadi seperti demikian, karena ini adalah persoalan keadilan yang sebetulnya harus dipahami oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Kemudian, ia juga menyoroti proses peminjaman perusahaan yang dilakukan oleh Suhaidi untuk dipakai dalam mengerjakan proyek renovasi kawasan Waterfront Sambas. Dimana, Suhaidi meminjam perusahaan milik terdakwa HS atau Hermansyah.
Herman mengatakan, ketika seseorang menggunakan perusahaan orang lain untuk mengerjakan proyek, dan apabila telah ada kesepakatan bersama secara tertulis, bahwa pengerjaan proyek tersebut tanggung jawab peminjam, maka direktur perusahaan tidak bisa diproses hukum.
“Jadi cukup di bawah tangan saja, dan tidak mesti ke notaris, pernyataan kesepakatan meminjam perusahaan. Orang yang meminjam perusahaan menyatakan bertanggung jawab penuh terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam proses pekerjaan, selama ia menggunakan perusahaan yang dipinjam, maka pemilik perusahaan tidak bisa dipidana,” ujar dia.
Sehingga tidak dibenarkan apabila pemilik maupun direktur perusahaan yang dipinjam tersebut dijadikan sebagai tersangka, dan kemudian ditahan. Ia mengatakan, karena tanggung jawab hukumnya ada pada pengguna perusahaan.
Terkecuali, kata dia, kalau memang tidak ada bukti-bukti maupun surat perjanjian, berarti yang terjerat proses hukumnya adalah pemilik perusahaan. Jadi, pemilik perusahaanlah yang bertanggung jawab penuh.
Ia menambahkan, kasus Waterfront Sambas ini sebetulnya tidak bisa dijerat dengan hukum pidana, karena persoalan ini berkaitan dengan keperdataan.
“Terus terang dari awal, saya sangat meragukan itu. Sebenarnya Waterfront masih bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata. Namun, karena itu sudah terjaring pidana, maka semua pihak yang dari awal berkaitan dengan proyek tersebut harus bertanggung jawab,” pungkas dia.
Disisi lain, terdakwa Hermansyah yang merupakan Direktur CV. Zee Indo Artha diketahui telah mengirimkan surat pemberitahuan tentang fakta-fakta persidangan di lapangan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalbar pada Jumat 28 Juni 2024.