JAKARTA. FAKTANASIONAL.NET – Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menyatakan keprihatinannya atas rencana pemerintah yang akan melakukan pemangkasan subsidi KRL Jabodetabek. Dalam beberapa tahun terakhir, isu ini terus menjadi perdebatan publik, khususnya terkait dengan dampaknya pada masyarakat pengguna transportasi massal.
“Di tengah kebutuhan yang sangat mendesak untuk mendorong transportasi massal, menjadi sangat mengherankan ketika pemerintah alih-alih memperkuat subsidi KRL Jabodetabek namun justru berkali-kali berupaya memangkasnya,” kata Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (27/09/2024).
Menurut Yusuf, KRL Jabodetabek sejak lama telah menjadi moda transportasi masyarakat yang sangat merakyat karena tarif-nya yang sangat terjangkau. KRL Jabodetabek telah menjadi angkutan massal bagi rakyat megapolitan untuk bekerja dan bersekolah.
“Pada 2014, daya angkut KRL Jabodetabek adalah 571 ribu penumpang per hari. Pada 2019, angka ini telah mendekati 1 juta penumpang per hari. Pasca pandemi, daya angkut KRL Jabodetabek perlahan pulih dan kini kembali mendekati 1 juta penumpang per hari,” ungkap Yusuf.
KRL Jabodetabek adalah transportasi publik yang sangat vital bagi masyarakat, terutama kalangan menengah dan bawah. Pemerintah seharusnya memperkuat subsidi KRL untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan efisiensi transportasi, serta membantu masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
“Selama ini, Subsidi untuk KRL Jabodetabek dalam bentuk PSO (Public Service Obligation) sebenarnya relatif kecil. Pada 2021, subsidi PSO mencapai Rp 2,14 triliun, namun telah menurun menjadi Rp 1,63 triliun pada 2023. Bahkan sebagai persentase dari total belanja pemerintah pusat, beban subsidi KRL semakin ringan, dari 0,11% pada 2017 menjadi hanya 0,07% pada 2023,” tutur Yusuf.
Yusuf juga memandang bahwa transportasi umum seperti KRL harus melayani semua kalangan dengan standar layanan yang sama, tanpa diskriminasi kelas ekonomi. Di negara-negara lain, tarif transportasi umum berlaku sama bagi semua penumpang, dan perbedaan tarif hanya diterapkan sebagai kebijakan afirmatif, seperti untuk pelajar atau penyandang disabilitas.
“Membedakan tarif antar penumpang KRL Jabodetabek berdasarkan kelas ekonomi mereka adalah sesat fikir serta menyalahi prinsip dasar angkutan umum yang bersifat inklusif, melayani semua kalangan dengan standar layanan yang sama,” tegas Yusuf.