JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Pemilihan Suara Ulang (PSU) Pilkada Barito Utara, Kalimantan Tengah, yang digelar pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 memunculkan satu pertanyaan besar: mengapa semua pasangan calon (paslon) justru terjebak dalam praktik politik uang hingga berdampak pada diskualifikasi total dan kebutuhan biaya ulang hingga puluhan miliar rupiah?
Dari perspektif teori hukum klasik—legal substance (substansi hukum), legal structure (struktur hukum), dan legal culture (budaya hukum)—semuanya tampak rapuh dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Mahkamah Konstitusi mewajibkan PSU setelah menemukan bukti kuat praktik money politics terstruktur dan sistematis yang melibatkan kedua paslon: Agi-Saja terbukti membeli suara hingga Rp 16 juta per pemilih (bahkan Rp 64 juta per keluarga), sedangkan Gogo-Helo memberikan uang hingga Rp 6,5 juta per pemilih plus janji umrah senilai total Rp 19,5 juta per keluarga – ini jelas melanggar Pasal 73 Undang-Undang Pilkada.
Struktur hukum elektoral sejatinya menjamin proses pemilihan yang adil, tapi lemahnya pengawasan di lapangan dan celah administratif membuat sanksi, deteksi, dan pencegahan gagal berfungsi optimal.
Secara budaya, politik uang telah menjadi alat tawar-menawar dukungan di banyak daerah, termasuk Barito Utara.
Bawaslu RI menegaskan bahwa upaya penindakan sudah dilakukan, namun politik uang yang “TSM” (terstruktur, sistematis, dan masif) menuntut sinergi lebih dari lembaga pengawas, partai politik, hingga masyarakat sipil agar budaya ini bisa dihapus dari sendi demokrasi – bukan sekadar tindakan represif pasca-fakta.